08 April 2008

Bangsa yang Bangkit

Asro Kamal Rokan

Eurasia Group yang bermarkas di New York, akhir Januari lalu merilis hasil riset tentang sepuluh pemimpin dunia yang perlu dicermati dalam dunia bisnis pada 2008. Konsultan dan periset --yang khusus dalam analisis geopolitik dan risiko ini-- menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di posisi kelima.

Nama mentereng lainnya adalah pemimpin Iran, Ayatollah Khameini; Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy; Presiden Rusia, Vladimir Putin; dan Presiden Pakistan, Pervez Musharaf (sebelum kalah). Di bawah Presiden SBY terdapat nama Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma; dan Presiden Brasil, Lula da Silva. Mereka dinilai Eurasia Group sebagai pemimpin lapis kedua dunia, yang sangat penting dan berpengaruh bagi masa depan negara mereka. Juga disebutkan, kepemimpinan para tokoh itu tidak dapat dicapai oleh orang lain.

Majalah Business Week edisi Indonesia terbitan terbaru, mengangkat sebagai laporan utama hasil riset Eurasia, lengkap dengan alasan terpilihnya para pemimpin tersebut. Presiden SBY dinilai sebagai pemimpin moderat dan berpengaruh, yang berhasil membangkitkan minat investor terhadap Indonesia. Namun, Presiden harus terus melanjutkan reformasi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

Eurasia, konsultan yang rajin mengamati para pemimpin dunia, mengumumkan hasil risetnya untuk mendorong dunia melihat dinamika global dan perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara tersebut, yang disebut Eurasia sebagai negara lapis kedua paling penting di dunia, setelah lapis pertama Amerika Serikat dan Cina.

Tak mudah memimpin Indonesia, yang terpuruk akibat krisis dan mendadak masuk dalam wilayah tanpa kekangan. Kebijakan-kebijakan yang diambil langsung berhadapan dengan reaksi politik. Dalam politik, orang lebih suka bicara sisi negatif, bukan pada substansi dan goal atas kebijakan, yang jelas tidak instan itu. Tidak ada kebijakan negara yang diputuskan hari ini, hasilnya langsung dirasakan besok.

Keputusan Presiden mempercepat pelunasan utang kepada IMF sebesar 7,8 miliar dolar pada tahun lalu --yang semestinya berakhir 2010-- yang sekaligus mengakhiri hubungan dengan Consultative Group on Indonesia (CGI), tidak dapat langsung dirasakan hari ini oleh rakyat. Secara politis, keputusan yang tak dapat dilakukan pemerintah sebelumnya itu, sangat strategis karena bangsa besar ini tidak lagi tersandera oleh letter of intent dan post program monitoring. Ini adalah proses menuju bangsa yang sehat.

Ketika tubuh bangsa ini berproses untuk sehat, timbul persoalan lain. Harga minyak melambung dan sangat membebani APBN. Pemerintah harus bekerja keras agar bangsa ini tak terjerembab, yang bukan karena kesalahannya. Bayangkan saja, setiap 1 dolar AS kenaikan minyak, maka subsidi BBM naik Rp 3,1 triliun, subsidi listrik naik Rp 660 miliar. Jika kenaikan itu mencapai 8 dolar AS, misalnya, maka sekitar Rp 30 triliun dihabiskan untuk subsidi.

Di sisi lain, untuk mengurangi angka kemiskinan, anggaran dinaikkan dari Rp 41,50 triliun sebelumnya menjadi Rp 60 triliun. Ini belum termasuk keringanan biaya pendidikan, kesehatan, menumbuhkan usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi.

Negara ini sesungguhnya sedang bengkit di tengah berbagai kesulitan internal dan eksternal. Memang tidak mudah, apalagi ketika orang selalu lebih tertarik bercerita tentang kekurangan daripada kelebihan. Ketika orang membiasakan dirinya dirundung pesimisme daripada optimisme. Tidak ada bangsa yang tegak karena pesimisme. Orang pesimis, sia-sia, akan membunuh dirinya sendiri.

Jangan biarkan bangsa besar ini terus merenung dan memuja masa lalunya di bawah pohon kamboja. Ia harus bangkit dan bergegas: dimulai dari kita!

Tidak ada komentar: